Minggu, 11 Desember 2011

Adikku Sayang, Adikku yang Ku cinta

Kembali sunyinya malam menyapaku dikampung rantau. Ibadah magrib telah usai tertunai. Dan malam ini, lagi dan lagi aku merigid dalam untaian doa untuk ayah diharibaanNya, mama, adik-adik, dan kakak-kakakku di selatan sana. Ah, rindu rasanya mulai merajuk dalam hati, wajah mereka memenuhi alam pikirku. Jika stimulus-stimulus itu datang maka dengan sigap otakku akan merespon, lalu memerintahkan tanganku mencari sebuah nama pada file kontak dihpq.Dalam rentan waktu seper sekian detik layar hpq akan mendisplay  tulisan “calling Fam ninaq”. 
“hallo, AssalamuAlaikum”. Terdengar suara sedikit jutek di seberang sana. Itu dia, suara gadis remaja usia 16 tahun yang sekarang duduk di kelas 2 SMA.Teman-temannya biasa memanggilnya Nina namun aku lebih senang memanggilnya Ning. Dia adalah adik keduaku yang begitu perfecsionis. seperti biasanya, banyak hal yang kami bicarakan. Dia bercerita tentang sekolahnya, tentang tugas-tugasnya yang sering menyita tidur malamnya, tentang ujian semesternya yang bisa dia selesaikan dengan baik, tentang kegiatan eksschoolnya, dan tentunya bukan Nina namanya kalau tidak minta di kirimkan uang untuk beli ini dan itu. Seringkali kami menghabiskan waktu sejam untuk ngobrol tentang kegiatannya yang katanya bejibun termasuk soal amanah barunya sebagai ketua OSIS SMA Negeri 1 Larompong. Hmmm...dia menjadi anak yang super sibuk  hingga seringkali dia lupa kewajibannya di rumah. Jika sudah seperti itu, maka dia akan mendapatkan semprotan nasehat mama yang khas.
Selepas berbicara panjang lebar dengan Nina. Giliran si bungsu yang berkicau. “Hallo”, suara serak-seraknya terasa begitu akrab ditelingaku. Aku menyapanya” Good evening”. Dia pun segera menjawab “ Good evening”. “How are you today?”. “I’m fine, thankz” dia menjawab lagi. “Tiar tidak mau tau bagaimana kabarku” giliran aku bertanya. Ia pun melanjutkan “and you?”. “I’m fine too” aku membalasnya, kemudian ku lanjutkan “what are you doing”. Ia menjawab lagi “I’m watching TV”. Perasaanku teramat senang mendengar bocah kelas 6 SD ini mulai bisa speak English sedikit-sedikit. Ku lanjutkan pertanyaanku “apa bahasa Inggrisnya “ saya sedang makan?”. Dia menjawab “ I am eat”.” Lho kok I’m eat?” Ucapku. Ia menjawab lagi, “eh iye dii,  I am eating, ku lupai ingnya, ingnya kan itu sedang toh?”. Tak bisa ku sembunyikan bahagiaku mendengarnya, aku pun memujinya,lalu bertanya “ siapa guru bahasa Inggrismu?”. Namun kali ini jawabannya di luar dugaanku. “Tidak ku tau i” jawabnya cuek. “Hamma kie, kenapa bisa biar namanya gurumu tidak mu tau i juga?” tanyaku. “ Tidak hadirka waktu pertama masuk itu guru karena sakitka” ucapnya. “ baru tidak mu cari tau i siapa namanya sampai sekarang” tanyaku. “ tidak. biar mi saja eh” jawaban cueknya semakin terasa. ”Tiar....Tiar”, aku menyebut namanya sambil tertawa karena sikapnya.
                Setiap menelpon si bungsu berkulit gelap ini, selalu ku sempatkan bertanya tentang apa yang di makannya hari ini, tentang sekolahnya, tentang shalatnya, tentang jam berapa ia bangun shalat subuh, tentang apakah magribnya masih selalu di mesjid, tentang teman-temannya, tentang kegiatan yang dilakukannya, dan tentunya tentang nilai-nilainya di sekolah. Biasanya, jika sudah bertanya soal nilai maka Nina akan nimbrung “ Tiar malas belajar, itu pi klo ada PRnya baru belajar”. Maka dia akan segera menyangga tapi juga membenarkan “ tidak ha, jarangka belajar tapi bagus ji nilaiku di sekolah”.
                Seiring obrolanku di telepon, hatiku pun sedang sibuk bertutur “Adik-adikku yang ku cintai, setiap berbicara dengan kalian maka bisa ku pastikan malamku akan ku tutup dengan indah. Ketika mengajar anak-anak seusia kalian di kampung orang ini,aku selalu mengingat kalian dan selalu berusaha memberikan yang terbaik buat mereka. Aku sungguh berharap dengan memberikan yang terbaik untuk mereka, kalian pun akan mendapatkan pengajaran yang terbaik. Maaf, begitu banyak proses yang kalian lewati yang tak bisa kusaksikan dan sekarang aku hanya bisa mengontrol lewat telepon. Kalian adalah penyemangatku untuk terus bekerja dan kalian akan selalu menjadi kebangganku”.  
                Begitulah, telpon kal berakhir setelah saya ngobrol dengan mama tentang keluarga yang selalu kurindukan ini. Dan  juga seperti biasanya, tak lupa kami ngobrol tentang impianku, impiannya, dan impian keluarga kami. Ah, ibundaku yang kucintai setelah Allah dan Rasulnya, engkau selalu menjadi air dalam setiap saharaku.